KITA, HUTAN dan SAWIT (Menjadi Konsumen Peduli Lingkungan)

Hutan, Sawit dan Konsumen Perkotaan

Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan saat ini, dikategorikan sebagai bencana lingkungan terbesar di abad 21, namun hanya sebagian kecil masyarakat (yang tidak merasakan dampak asap) menyadari hal ini. Dampak kebakaran hutan yang masiv ini mengancam kehidupan manusia dan ekosistem hutan. Manusia terancam kesehatan, kegiatan sehari-hari dan perekonomiannya, ekosistem hutan yang semakin rusak, khususnya habitat dan populasi Orangutan. Belum lagi ditambah meluasnya dampak kabut asap tersebut keluar pulau—menjadi ancaman nasional maupun regional—menurut laporan BBC Indonesia, dari Malaysia, Singapura hingga Thailand ikut terkena dampaknya. Tapi, apakah para pemilik perusahaan sawit, tersangka pembakaran hutan terancam pula kehidupannya? Mungkin tidak, karena mereka hidup senang dengan kemewahan diluar sana. Terdengar sarkastik memang, tapi begitulah faktanya.

Kebakaran hutan—menurut catatan WALHI (2015) paling banyak karena ulah produsen besar kelapa sawit—membuat masyarakat marah. Masyarakat ini ya kita para konsumen, yang bisa saja sedang tidak sadar merupakan pengguna produk-produk berbahan minyak kelapa sawit dan kayu hasil tebangan hutan. Mulai dari produk makanan hingga kecantikan. Pemahaman masyarakat dewasa ini tentang “gaya hidup hijau” kebanyakan masih sebatas mengurangi penggunaan electricity, mengendarai sepeda dan angkutan umum untuk berkegitan sehari-hari, pengolahan limbah plastik, atau penggunaan bahan daur ulang. Namun masih kurang yang memahami bahwa menjadi konsumen yang baik adalah bagian penting dari gaya hidup ramah lingkungan.

poto 2

Berbelanja produk makanan hingga kosmetik di supermarket menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat di perkotaan, nah disinilah kesempatan kita untuk ikut mendukung upaya produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, dengan cara membeli produk-produk yang berekolabel FSC & RSPO untuk produk berbasis kayu dan kelapa sawit. Ini termasuk mudah dilakukan apalagi mengingat masyarakat perkotaan yang sangat dekat dengan tekhnologi dan kemudahannya mengakses informasi, tapi tahan dulu! Dilema menjadi konsumen yang baik masih akan berlanjut.

Pembukaan lahan untuk perluasan kebun kelapa sawit bukanlah persoalan sepele yang bisa kita bayangkan. Apakah hanya sebatas mendapatkan izin konsesi hutan dari pihak pemerintah, lalu membuka lahan dengan cara membakar, tanam sawit, panen, dan produksi saja? Banyak persoalan lain yang ikut dilibatkan, menurut catatan dari Sawit Watch ada tiga persoalan utama yaitu persoalan sosial, degradasi lingkungan, dan pemanasan global. Belum lagi ditambah dengan potensi korupsi pemerintah daerah terkait izin-izin pembukaan lahan. Berat memang kalau dipikirkan, inilah mungkin mengapa banyak konsumen yang masa bodoh, kehidupan perkotaan sudah terlalu memusingkan untuk memikirkan harus membeli produk ramah lingkungan untuk dikonsumsi. Mengkonsumsi yang sehat saja kadang dipikirkan belakangan. Pada akhirnya menjadikan mereka konsumen yang hanya akrab dengan gadget canggih namun apatis dengan persoalan yang menggerogoti lingkungannya sendiri.

Konsumen yang cermat dan tanggap

Coba sekarang cek makanan kemasan yang ada di lemari pendingin atau kosmetik yang ada di meja rias anda! Apakah sudah berekolabel FSC & RSPO? Jika memang sudah, maka anda sudah menjadi konsumen yang peduli dengan lingkungan. Jangan terlena sampai di situ! Karena ternyata dilema lain muncul bagi kita konsumen yang ingin go green. Dilema ini dipicu gara-gara tingginya permintaan produsen-produsen produk yang menggunakan minyak kelapa sawit kepada pemasoknya di Indonesia, mendorong pihak pemasok alias produsen kelapa sawit (anggota RSPO) melakukan perluasan lahannya di hutan-hutan Indonesia.

Perluasan lahan berarti akan ada yang namanya pelepasan kawasan hutan, apakah kita bisa percaya dengan pengawasan pihak pemerintah terhadap pihak perusahaan, untuk tidak melakukan pembukaan lahan yang dapat merusak ekosistem hutan dan dampak kebakaran hutan gambut? Percaya atau tidak, melihat masih carut marutnya prosedur pemberian izin lokasi hingga izin Hak Guna Usaha di Indonesia, sulit untuk hanya percaya pada satu pihak saja. Maksudnya begini, kita sebagai konsumen jangan hanya membatasi pemahaman kita sampai di produk berekolabel saja! Tapi kita juga harus “mengekspansi” pengetahuan kita terhadap produsen-produsen produk yang kita gunakan tersebut. Apakah pemasok minyak kelapa sawit mereka masih mematuhi rambu-rambu dalam RSPO atau tidak. Jika tidak kita sebagai konsumen punya banyak cara untuk melakukan petisi kepada produsen. Baik lewat dukungan NGO lingkungan disekitar kita ataupun membuat petisi sendiri dengan mengajak konsumen lainnya. Saat ini dunia internet memudahkan kita melakukan semuanya.

Untuk dipahami sekilas, bahwasanya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ini antara lain; berkomitmen tidak ada lagi hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi lainnya yang dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit; menerapkan praktik terbaik yang berterima; dan bahwa hak-hak dasar dan kondisi hidup jutaan pekerja perkebunan, petani kecil, dan masyarakat asli dihargai sepenuhnya. Maka kemudian RSPO harus secara proaktif terlibat dengan petani kelapa sawit, pengolah sawit, perusahaan, pengecer, LSM dan investor untuk bekerja sama menuju suplai global minyak sawit yang diproduksi dengan bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.

Tahu tidak? Beberapa daerah terdampak dari ekspansi perkebunan sawit ini adalah daerah-daerah dengan penduduk miskin, bayangkan dengan keadaannya mereka juga harus menanggung dampak banjir dan kekeringan serta pencemaran air limbah dan bahan-bahan kimia yang dihasilkan perkebunan sawit. Menurut catatan Sawit Watch bencana banjir, tanah longsor hingga kebakaran hutan dan gambut terjadi hampir setiap tahun terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan akibat konversi wilayah konservasi menjadi perkebunan sawit. Kita konsumen perkotaan mungkin tidak tahu kampung bernama Bukal dan Soraya yang berada jauh di pedalaman kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Dimana setiap tahunnya masyarakat sekitar harus menanggung bencana banjir akibat dari perkebunan kelapa sawit, dengan kondisi masyarakatnya yang banyak terbilang tidak mampu.

poto  1

Menjadi konsumen yang cermat dalam membeli produk ramah lingkungan, dan ikut peduli dengan kehidupan sosial, serta lingkungan di sekitar kita sangatlah penting dewasa ini. Saat ini di supermarket kita sudah bisa menemukan produk minyak goreng yang berbahan dasar minyak kelapa atau minyak jagung, manfaat secara kesehatan dan rasa yang dihasilkan tentu lebih unggul, hanya saja harganya yang masih terbilang mahal belum mampu bersaing dengan minyak goreng sawit yang lebih murah. Di kabupaten Buol termasuk daerah yang sebagian masyarakatnya masih mengkonsumsi minyak goreng dari kelapa, yang diolah sendiri mulai dari pengambilan buah kelapanya hingga dimasak menjadi minyak.

Konsumenlah pihak penting yang akan mendorong penggunaan bahan ramah lingkungan oleh produsen. Dan juga, mengingat kita hidup di bumi yang sama yang sudah terlampau panas akibat pemanasan global. Jika kita masih menjadi pembeli yang apatis, lalu apalagi yang bisa kita lakukan untuk menjaga hutan (sumber oksigen) kita, agar tetap lestari dan berkelanjutan untuk anak cucu kita?

anak kampung soraya

Ayo Beli Yang Baik! ^^

SOURCES (Website: WWF, Mongabay, Tempo, BBC Indonesia. Paper: Sawit Watch. Photo: Jepretan Pribadi (Perkebunan kelapa sawit, kampung Soraya, anak kecil)
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Way to Pulau Panjang – Sulawesi Tengah

Pulau Panjang merupakan salah satu pulau yang terletak di daerah Paleleh Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Pernah dengar? Tentu saja bagi kalian yang berasal dari luar Sulawesi Tengah apalagi diluar pulau Sulawesi belum pernah mendengar nama Pulau itu.

Image

Dari ibukota Buol menuju daerah Paleleh saya harus naik bis kecil yang panas dan himpit-himpitan dengan penumpang lain, dengan waktu tempuh kurang lebih 5 jam perjalanan, kalau mau cepat dan tidak harus tersiksa duduknya ya naik mobil pribadi atau sepeda motor, tapi ya saya mana berani bawa sendiri, di jalan yang menanjak tinggi sekali dan rusak disana sininya, butuh skill yang sudah mumpuni. Tapi saya selalu punya cara sendiri untuk mengurangi tersiksanya selama perjalanan dengan kendaraan umum yaitu dengan modal HP/MP3 player, headset, musik/lagu favorit (saya sendiri selalu dengar musik/lagu yang bisa bikin saya tambah menikmati petualangan, seperti apa sih? Well, beda orang beda selera).

Traveling dan sejenisnya adalah salah satu cara saya bersyukur tanpa henti kepada Tuhan, itu meditasi saya… setiap pemandangan yang dilewati selama diperjalanan mau itu hutan, gunung, sungai, perkampungan, manusia, laut, sawah apapun itu selalu saja meberi getaran, getaran itu rasanya nyaman kadang menjadi syahdu. Jiaaah puitis. Bagi yang punya perasaan sama angkat tangan!!! 🙂

Di Paleleh saya menginap dirumah tante saya, enak banget selama 5 hari disana saya benar-benar dimanjakan dengan makanan-makanan yang sadaaaaap, ikut bantu-bantu ngebersihin rumah sisanya jalan-jalan keliling daerah Paleleh, mulai dari ikut tante dan dua sepupu saya silaturahmi sama kerabat-kerabat karena kebetulan masih dalam suasana lebaran, dari sudut kampung yang satu kekampung yang lain, ikut lebaran ketupat khas salah satu daerah seberang gunung, namanya desa Lintidu. Makan enak lagi dan gratis.

Hasil dari silaturahmi, salah satu kerabat jauh menawarkan kami perahu motornya untuk menyeberang ke Pulau Panjang yang jaraknya sekitar satu kilometer dari Paleleh, kami hanya perlu mengisi bahan bakarnya saja. Okeeeeh mantap. Selesai memasak bekal yang akan disantap di pulau nanti, kami bersiap-siap cabut ke pelabuhan kecil tempat perahu motor para nelayan pada parkir, jaraknya sekitar 15 menit jalan kaki. Yang bikin saya tambah senang lagi ketiga teman saya yang kebetulan tinggal di Paleleh ikut ke pulau, tambah seru deh.

Image

Mata saya benar-benar terbelalak melihat pulau Panjang dari atas perahu motor, gila itu indah banget panoramanya, jadi daerah daerah Paleleh itu bisa dibilang membentuk letter U, nah ditengah-tengahnya itu terdapat dua pulau, ya salah satunya pulau Panjang ini, kebayang nggak teduhnya pulau ini? Karena biasanya pulau yang terdapat persis ditengah laut, panasnya minta ampun karena tidak ada daerah pegunungan yang bisa sedikit menghalau teriknya matahari. Setelah perahu merapat ke Pantai saya tambah takjub lagi, pasir pantainya putih dan lumayan halus. Segeralah kami berfoto ria, mencari cangkang-cangkang indah hewan laut yang sudah ditinggalkan penghuninya, makan kacang rebus disambung nasi kuning dan ikan cakalang goreng plus sambal pedaaaas. Setelah kenyang tanpa pikir panjang lagi saya langsung menikmati air laut yang… ini dia yang saya cari, hangat. Airnya sangat jernih, dan yang lebih memanjakan mata pemandangan di depan pulau, terdapat gugusan pegunungan, lensa mata kita akan menangkap perpaduan air laut yang berwarna hijau, kemudian biru, pegunungan yang hijau, langit biru, dengan sedikit awan, WAW.

Hujan turun perlahan, membuat saya tambah betah didalam air, karena airnya tetap hangat. Hanya saya bertiga dengan teman saya yang asik ngobrol sambil berendam, berasa di bath-tub raksasa. Para ibu-ibu sibuk bergosip sambil menikmati angin pantai, para bapak-bapak memisahkan diri dengan perahu-perahunya, para pemuda sibuk bermain bola pantai, anak-anak kecil main kejar-kejaran, 2 sepupu dan satu teman saya malah sibuk tidur disalah satu gubuk nelayan yang tidak jauh dari pantai. Oalah udah nyampe tempat seindah ini kok malah sibuk tidur, katanya sih karena mereka sering kepulau ini jadi udah nggak seexcited  saya yang baru pertama kali. Iya deh.

Hari sudah mulai sore dan hujan juga sudah agak reda, kami bersiap-siap pulang. Tante saya senyum-senyum geli melihat saya yang tadi kalau saja dia tidak menyuruh saya berhenti karena sudah mau pulang, saya mungkin akan tidur diatas pasir pantai, akan tinggal dipulau itu sampai besok pagi, saking keasikannya. I was very blessed that day.

Image

Posted in Story | Tagged | Leave a comment